Senin, 16 Mei 2011

ISLAM AGAMA HARMONIS BUKAN TERORIS



Alloh ta’ala, Sang Pembuat Syari’at, menjelaskan kepada seluruh manusia dan jin bahwa Islam adalah agama rohmat, adil dan penuh kasih. Alloh ta’ala berfirman tentang nabi-Nya (yang artinya):

“Dan tiadalah kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rohmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’ 21: 107)

Alloh ‘Azza wa jalla juga berfirman (yang artinya):

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang washath dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rosul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (QS. Al-Baqarah 02: 143)

Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam menafsirkan arti kata washath dalam ayat di atas dengan adil, yaitu bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya. (Musnad Imam Ahmad 11068, Ibnu Hibban 7216).
Dari ‘Aisyah rodhiallohu ‘anha bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya aku diutus dengan agama yang toleran.” (HR. Imam Ahmad 6/116, al-Bukhori dalam al-Adabul Mufrod 287 dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shohihah 6/1022 no. 2924)

Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia. Ia bukanlah agama yang jumud, monoton dan berlebihan. Barang siapa yang berlebih-lebihan dalam beragama dari batasan yang telah digariskan, maka ia akan dikalahkan oleh agama itu sendiri. Dari Abu Huroiroh rodhiallohu ‘anhu dari nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Sesungguhnya agama itu mudah. Dan tidaklah ada seorangpun yang membuatnya berat kecuali agama akan mengalahkannya. Karena itu, luruslah, bersahajalah, sampaikanlah kabar gembira dan minta tolonglah (untuk melakukan ketaatan tatkala bersemangat) di waktu pagi, sore dan malam hari.” (HR. al-Bukhori 39, 5673)

Demikian pula perlakuan Islam terhadap non muslim, penuh dengan keadilan dan rohmat. Di antara sikap santun Islam terhadap non muslim antara lain:
1. Pada dasarnya Islam tidaklah memaksa kaum kafir untuk memeluk agama Islam.
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Alloh Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Baqarah 2: 256)

2. Boleh bagi kaum kafir untuk berpindah atau bermukim di negeri mana saja dari negeri-negeri Islam yang mereka inginkan kecuali negeri Jazirah Arab. Hal ini sudah merupakan Ijma’ (Marotibul Ijma’ oleh Ibnu Hazm 122)

3. Keharusan bagi kaum muslimin untuk menjaga perjanjian dengan kaum kafir jika mereka menunaikan perjanjian dengan kesepakatan itu.

“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan Perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, Maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” (QS. At-Taubah 09: 04)

4. Haramnya darah orang kafir yang dijamin aman oleh pemerintah muslim dan orang kafir yang ada perjanjian aman dengam pemerintahan muslim jika mereka menunaikan perjanjian tersebut. Dari Abdulloh bin ‘Amr rodhiallohu’anhuma dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa yang membunuh orang mu’ahad (orang kafir yang mengikat perjanjian dengan pemerintah muslim) maka dia tidak akan mencium bau syurga. Sesungguhnya bau syurga tercium sejarak 40 tahun.” (HR. al-Bukhori 3166)

5. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepada kaum muslimin untuk menjaga harta dan darah ahli dzimmah (orang kafir yang dijamin aman oleh pemerintah muslim). Al-Qorofi (wafat 684H) menukil perkataan Ibnu Hazm: ‘Jika ada kaum muslimin yang berada dalam jaminan kaum muslimin kemudain datang musuh dari luar menyerang mereka, maka wajib bagi kita untuk keluar memerangi musuh mereka tersebut dengan kuda dan senjata meskipun kita mati membela mereka. Ini sebagai konsekuensi penjagaan terhadap orang yang dijamin oelh Alloh dan Rosul-Nya. Karena menyerahkan mereka termasuk melanggar perjanjian tersebut.’ (Al-Furuq 3/14-15)

6. Perbedaan agama tidaklah menelantarkan hak-hak kekerabatan.
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Luqman 31 : 14-15)

Dari Asma binti Abi Bakr rodhiallohu ‘anhuma, ia berkata: ‘Ibuku mendatangiku sedangkan ia masih musyrik (menyembah selain Alloh). Maka aku meminta fatwa kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau bersabda:
“Sambunglah (tali kekerabatan) dengan ibumu.” (HR. al-Bukhori 2620, Muslim 1003)

7. Perlakuan yang baik merupakan hak semua orang yang tidak memerangi kaum muslimin atau ikut-ikutan membantu menghancurkan kamu muslimin.
“Alloh tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. Sesungguhnya Alloh hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah 60: 8-9)

Bersikap adil merupakan kewajiban setiap individu muslim terhadap semua pemeluk agama apa saja. Alloh ta’ala berfirman (yang artinya):
“Dan perangilah di jalan Alloh orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah 02: 190).

Oleh karena itu, kita tidak diperbolehkan mengkhianati orang yang pernah mengkhianati kita, karena khianat dan menipu bukanlah termasuk keadilan. Dari Abu Huroiroh rodhiallohu ‘anhu. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Tunaikanlah amanat kepada orang yang member amanat dan janganlah mengkhianati orang yang pernah mengkhianatimu.” (HR. Abu Dawud 3529, dihasankan oleh at-Tirmidzi 1264 dan dishohihkan oleh al-Hakim 2/46)

Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam memperingatkan dari do’a orang yang terzholimi meksipun ia orang kafir. Dari Anas bin Malik rodhiallohu ‘anhu bahwa Rosulullohu shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Takutlah dari doa orang yang terzholimi sekalipun ia orang kafir, karena tidak ada penghalang (antara doanya dengan Alloh).” (HR. Ahmad 26/418 12549, Ibnu Ma’in dalam Tarikh-nya 5281 dengan beberapa penguat. Silakan lihat Silsilah ash-Shohihah 767)

Akhlak dan adab-adab telah dipaparkan di atas merupakan bagian dari ajaran Islam. Sehingga tidaklah ada pertentangan antaranya dengan akidah al-Wala’ dan al-Baro’ yang juga merupakan pondasi agama Islam. Kija kita menerapkan adab-adab tersebut, bukan berarti kita mencintai orang kafir, namun demi menegakkan keadilan dan perbuatan baik yang diperintahkan Islam itu sendiri. Karena yang dilarang adalah kecintaan batin kepada mereka dan membantu mereka menghancurkan kaum muslimin, bukan larangan berbuat adil dan baik kepda mereka selama perbuatan tersebut tidak mengantarkan kepada penghinaan terhadap Islam dan kamu muslimin.
Adapun kecintaan yang merupakan tabiat manusia, seperti cintanya anak kepada orang tuanya yang masih kafir, atau cintanya orang tua kepada anaknya yang amsih kafir maka ini tidaklah terlarang. Alloh ta’ala berfirman (yang artinya):

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat member petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Alloh member pentunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan Alloh lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS. Al-Qoshosh 28: 56)

Alloh ta’ala menyebutkan kecintaan Nabi-Nya terhadap paman beliau, Abu Tholib, dan Dia tidak mencela beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam karena perbuatan tersebut, padahal beliau adalah manusia yang paling sempurna imannya. Hal ini menunjukan bahwa perbuatan tersebut tidaklah bertentangan dengan kesempurnaan iman.
Wallohu waliyyut-taufiq…

0 komentar:

Posting Komentar

Blogger Visitors

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More